Bersama Pak Dedi |
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 wib. Ku kayuh Federal
menembus gelapnya malam menuju Padang Panjang. Sesekali lampu mobil yang lewat menerangi jalan. Malam
ini kami baru selesai mengadakan rapat pengurus Lentera Hijrah Adventure (LHA).
Sebuah komunitas pegiat olahraga outdoor. Acaranya sendiri di sebuah café coffee
di Bukittinggi.
Lintasan kenangan kembali mengingatkan saya pada pertemuan
sebelumnya, akhir tahun 2019. Rapat
kerja pengurus LHA di Padang Panjang. Selesai pertemuan tersebut, Pembina LHA, Pak
Dedi Azzam mengajak saya untuk ikut touring tiga negara. Indonesia, Malaysia
dan Singapura. Tawaran pada malam tersebut belum dapat langsung saya iyakan. Karena
liburan sekolah semester kali ini sudah berencana untuk keliling pulau Jawa
bersama keluarga.
Sore itu, Selasa, 24 Desember 2019, kami telah
berkumpul di Baso, rumah Pak Dedi Azzam. Sesuai rencana, pukul 17.00 wib kita
langsung berangkat menuju Dumai. Tiga sepeda sudah disusun di atas Trooper. Ya,
kami berangkat cuma bertiga, Pak Dedi Azzam, om Fajar dan saya sendiri. Dari
segi pengalaman touring sepeda, saya masih pemula. Hehe…
Setelah menempuh perjalanan semalaman, pukul 07.00
kami sampai di Kota Dumai. Dari sini kami naik Ferry menuju Malaka. Tiketnya
tidak terlalu mahal, Rp. 350.000 perorang. Ditambah ongkos bagasi Rp. 50.000
persepeda. Kami naik Ferry kedua. Berangkat pukul 09.00.
Dua setengah jam melintasi selat Malaka, pukul 13.00
wib akhirnya Ferry merapat di dermaga. Agak lama menunggu, tiba juga kami
giliran kami di pos imigrasi. Setelah pemeriksaan dokumen, kami dipersilakan
melanjutkan perjalanan. Di luar dermaga kami di hampiri seorang pria paruh
baya, berseragam mirip Banser di Jawa. Dia cukup tertarik melihat kami bertiga
dengan sepeda, hendak melintasi negeri jiran Malaysia. Terik matahari tidak
menyurutkan niat kami untuk mengabadikan setiap momen di tepian sungai Malaka.
Jam menunjukkan hampir pukul 14.00. Perut sudah terasa
keroncongan. Dari pagi, belum sesuap nasi pun kami makan, karena langsung ke
pelabuhan. Sebelum mencari rumah makan, saya dan Pak Dedi berencana mengambil
uang dulu di ATM. Setelah lalu lalang, hilir mudik mencari, akhirnya bersua jua
ATM di sebuah pusat perbelanjaan.
Di sudut sebuah pasar, kami jumpai rumah makan.
Mungkin lebih tepatnya warung makan. Melihat menu makanan yang tersedia,
pilihan saya jatuh pada ayam goreng. Standar saja. Om Fajar memilih lauk cumi
goreng. Sedangkan Pak Dedi memilih gulai ikan dengan kuah berwarna kemerahan,
yang ternyata merupakan kuliner khas Malaka. Asam pedas, begitu orang
menyebutnya. Setelah ditawari Pak Dedi, saya coba cicipi. Ternyata rasanya
seperti gulai asam padeh di kampung kita.
Selesai makan, rencana selanjutnya adalah mencari
penginapan. Sesuai skedul, hari ini bermalam dulu di Malaka. Esok hari baru
dimulai perjalanan. Setelah putar ke sana kemari, namun penginapan yang cocok belum
juga kami temukan. Cocok di hati dan cocok di kantong.
Dari kejauhan terdengar seruan azan ashar
berkumandang. Kami mampir di sebuah masjid tua bersejarah di Malaka. Dari gaya
arsitekturnya tampak terjadi percampuran budaya. Melayu, Arab dan China. Tidak
lupa kami abadikan momen ini bersama.
Melalui petugas penjaga masjid, garin istilah kita, kami
menanyakan tempat penginapan yang sesuai kriteria. Tanpa disangka-sangka, pria
paruh baya tersebut bersedia mengantarkan kami mencari penginapan. Dari
belakang, kami iringi sepeda butut pak tua tersebut melintasi kota. Dari
gayanya tampak jelas dia sudah mengenal setiap sudut kota Malaka…(bersambung)
0 comments:
Posting Komentar