Dari kiri ke kanan:Arif Fadhillah, Natar Zainuddin, Dt. Batuah, A. Wahab |
Tanggal
23 Mei kemaren merupakan peringatan 100 tahun lahirnya Partai Komunis Indonesia
(PKI). Partai yang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia sejak
kegagalan kudeta/pemberontakan yang dilakukan pada tahun 1965. Faktanya
ideologi komunis itu tidak mati. Mereka mulai berani terang-terangan tampil di
media.
Kota
Padang Panjang yang berjuluk Kota Serambi Mekkah ternyata mempunyai andil besar
bagi perkembangan ideologi komunis di Sumatera Barat. Nah, pada tulisan kali
ini saya kembali me-repost beberapa tulisan berkaitan dengan komunis di
Sumatera Barat dan kegagalan pemberontakannya pada tahun 1927. Agar kita tetap
waspada terhadap bahaya laten komunis.
Sejumlah tokoh aliran komunis pernah lahir dan besar di Sumatera Barat. Menurut dosen dan peneliti dari Universitas Leiden, Suryadi Sunuri salah satu tokoh komunis yakni Dt. Batuah adalah pembawa paham komunisme ke dalam kampung Sumatera Thawalib, Padang Panjang.
Menurut Suryadi, foto yang dijadikan sampul di atas adalah
empat orang tokoh Partai Komunis Indonesia (penjelmaan dari Sarikat Ra’jat)
dari Padang Panjang. Foto ini diperkirakan diabadikan pada tahun 1920-1927.
Namun komunis saat itu bersinergi dengan ajaran Islam untuk mengusir penjajah
dari bumi Minangkabau.
Adapun keempat tokoh dalam foto tersebut adalah dari kiri ke
kanan, adalah: Arif Fadillah (baju putih), Natar Zainuddin, Ahmad Khatib Dt.
Batuah (tanda x) dan A.Wahab (baju putih). jika diprediksi dari wajah, dua
orang yang berada di tengah kemungkinan besar lebih senior dari dua yang di
pinggir. Tapi yang paling senior dari keempatnya adalah Dt. Batuah.
Untuk diketahui, Dt. Batuah merupakan tokoh PKI kelahiran
Koto Laweh, pada tahun 1895 dan wafat pada tahun 1949 di tempat yang sama.
Menurut Suryadi, Dt. Batuah adalah pendiri dan mejadi ketua PKI Cabang Padang
Panjang pada Maret 1923. Dalam membentuk dan mengelola partai tersebut, dirinya
dibantu oleh Djamaluddin Tamin sebagai sekretaris merangkap bendahara dan Natar
Zainuddin dan Dt Mangkudum Sati ditetapakan menjadi anggota kehormatan partai
yang didirikannya tersebut.
Sedangkan Natar Zainuddin merupakan pria kelahiran Padang
tahun 1890 dan meninggalnya juga di Padang 24 Mei 1950. Sementara itu, tidak
diketahui tanggal dan tempat kelahiran Arif Fadillah dan A. Wahab
PKI di Padang Panjang mendapat penolakan dan ditentang oleh
sejumlah pihak, termasuk Belanda. Penolakan tersebut disebabkan banyak hal,
salah satunya adalah persoalan ideologi. Sedangkan Belanda waktu itu sangat
khawatir dengan perkembangan PKI yang berkembang melalui gerakan Sjarikat
Ra’jat (syarikat Rakyat).
Djamaluddin Tamin dalam ‘Sedjarah PKI’ (stensilan, 1957:14)
menulis:
Mulai sadja terdengar disebut2 gerakan pemuda Thawalib/Student
Islam di Padang Pandjang, sudah mempunjai Depot Merah/Cooperasi Thawalib Merah,
adanja I.D.C./International Debanting Club, dan Sarekat Rakjat jang sudah
meliputi seluruh Minangkabau/Sumatera Barat, maka Abdul Muis pun segera
meninggalkan Djakarta/Djawa, dan sering2lah pula [ia] ke Padang Pandjang.
Abdul Musi (sic) jang merasa dirinja masih mendapat kepertjajaan
Rakjat Minangkabau, ditjobanjalah djuga mengadakan Rapat2 Umum, dan
sebagai pertjobaan jang pertama kali, diadakannjalah di Padang Pandjang pada
bulan September 1923.
Rapat Umum Musi (sic) ini, dikubrukan, dikatjaukan oleh satu dua
orang PKI-ers sadja, jang dengan terang2an Abdul Muis ditelandjangi bulat2
dalam rapat Umum Muis tsb, walaupun usaha mengadakan Rapat Umum ini disokong
oleh Alim Ulama Besar di Minangkabau, seperti Hadji Abdul[lah] Achmad,
Padang dan Hadji Abdul Karim Amarullah alias Hadji Rasul di Padang
Pandjang, dan djiga (sic) mendapat sokongan beberapa ninik mamak/datuk2,
penghulu2 jang memang sudah djinak2 kepada Belanda.
Sesudahnja Rapa Umum Muis ini bubar/gagal, maka langsunglah Abdul
Muis mengadakan pertemuan rahasia di Padang Pandjang jang juga diikuti
oleh Hadji Rassul/Haji Abdul Karim Amarullah ajah kandungnja Pudjangga Islam,
Hadji Abdul Malik Karim Amarullah/HAMKA.
Pada tanggal 11 November 1923 Dt. Batuah dan Natar Zainuddin
ditangkap oleh Belanda. Djamaluddin Tamin menduga penangkapan dua tokoh PKI itu
merupakan ketidaksukaan pihak lain terhadap eksistensi PKI di Padang Panjang
saat itu. Pihak yang tidak suka terhadap Belanda mengadukan bahwa Dt Batuah dan
kelompoknya seakan-akan ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintah
Belanda.
Tamin (ibid.) menulis:
“Bertepatan benar hari Minggu tgl 11 Nopember 1923, negeri Kota
Lawas-Pandai Sikat, diserbu oleh soldadu Belanda dengan bajonet terhunus, dan
ditangkapilah Hadji Dt Batua[h] bersama tudjuh orang murid2nja H Dt Batuah di
desa Koto Lawas”.
Selanjutnya, ia menulis:
Pada hari Senin 12 Nopember 1923, saja sudah menegaskan dalam
lembaran madjalah Pembangunan Islam, dan Djago-djago, jang kami terbitkan di
Padang Pandjang sekali dua hari, ijalah artikel saja jang berkepala: TUDUHAN
DAN FITNAH, ITU![1] jang diantara isinja artikel saja tsb saja seolah2 sudah
menegaskan/bukan membajangkan lagi, bahwa alasannja tindakan militer terhadap H
Dt. Batuah dkk, pastilah berdasarkan laporan2 palsu jang sudah disusun oleh
Hadji Rasul, Sjech [Djamil] Djambek, H. Abdullah Ahmad bersama2 Abdul Muis,
jang isinja laporan itu, ialah: H Dt. Batuah dengan kawan2nja di kota kawasan
Pandai Sikat akan mengadakan pemberontakan….katanja!!
Setelah ditangkap oleh Belanda, Dt. Batuah dan Natar
kemudian dipindahkan ke Sunda Kecil (sekarang: Nusa Tenggara Timur/NTT) pada
Desember 1924. Sebelum dipindahkan mereka dalam penahanan dan pengawalan ketat
pemerintah Belanda di penjara di Padang.
Di Nusa Tenggara Timur, Dt. Batuah diasingkan ke daerah ke
Kalabahi di Pulau Alor. Sedangkan Natar Zainuddin diasingkan ke Kafamenanu di
Pulau Timor. Setelah itu, Belanda pun memindahkan mereka ke Digul pada tahun
1927. Pada tahun 1942, mereka
juga bahkan pernah dipindahkan ke Australia saat Jepang ke Hindia Belanda.
juga bahkan pernah dipindahkan ke Australia saat Jepang ke Hindia Belanda.
Mereka baru bisa menghidup udara bebas lagi tahun 1945. Dt.
Batuah sempat ke Jawa sebelum kembali ke Sumatera Barat tahun 1948. Natar
Zainuddin juga kembali ke Sumatera Barat.
Dua tokoh berbaju putih dalam foto ini Arif Fadillah dan A.
Wahab adalah penerus perjuangan Dt. Batuah dan Natar Zainuddin. Keduanya juga
alumni Sumatera Thawalib. Arif Fadillah mengetuai PKI cabang Padang Panjang
setelah dua seniornya yang lain yang menjadi pengurus partai itu.
Djamaluddin Tamin dan Mahmud pergi ke Singapura menemui Tan
Malaka. Arif sudah aktif di Padang Panjang sejak 1923 dan banyak menulis
artikel pedas dalam Djago! Djago!. Ia pernah dipenjarakan Belanda selama 6 bulan
tahun 1924. Menurut Benda (op cit.:170) posisi Arif pada waktu itu adalah
‘Sectional Executive’ menggantikan Ketua Umum PKI Sumatra’s Westkust, Sutan
Said Ali.
Pada tahun itu (1926) Arif pergi ke Jawa beberapa bulan
untuk ‘kunjungan studi’. Arif aktif mengorganisir rencana pemberontakan di
lapangan, dan juga menyelundupkan senjata. Ia tertangkap Belanda dalam
pelariannya pada 29 Desember 1926 dan dibawa ke Sawahlunto.
A.Wahab tercatat sebagai staf PKI seksi Padang, dengan
jabatan sekretaris dan bendahara, menyusul keputusan konferensi partai itu di
Padang Panjang pada bulan Mei 1925. Ia adalah salah seorang penerima uang
sebanyak 300 gulden yang berasal dari dana rahasia Uni Sovyet. Arif dibuang ke
Digul (Tamin 1957:88), sementara nasib A. Wahab dan puluhan simpatisan PKI
lainnya, setelah pemberontakan Komunis Silungkang yang keburu bocor itu
berhasil dipadamkan Belanda dengan mudah.
0 comments:
Posting Komentar