Korban pemberontakan Silungkang |
Pemberontakan
Silungkang atau Pemberontakan
Malam Tahun Baru terjadi pada malam 1 Januari 1927 oleh para
pemberontak Partai Komunis Indonesia (PKI)
terhadap pemerintah Hindia Belanda di Minangkabau. Pada awalnya, rencana
pemberontakan tersebut merupakan hasil rundingan dalam Konferensi Prambanan yang
diadakan oleh PKI pada 25 Desember 1925. Namun, rencana
tersebut ditunda akibat gempa bumi 28 Juni 1926 terjadi
di Padang Panjang yang rencananya dijadikan
pusat perlawanan. Rencana pemberontakan tersebut dirundingkan kembali di Silungkang pada 20 Desember 1926
oleh kurang lebih 30 anggota PKI.
Namun, Tan Malaka tak setuju atas rencana itu.
Tan Malaka menilai rencana pemberontakan masih mentah dan PKI belum siap untuk
memberontak. Jika dipaksakan malah akan membahayakan gerakan di tanah air.
Pemerintah Belanda pasti akan semakin memperketat ruang gerak dunia gerakan.
Tan Malaka meminta agar keputusan tersebut dirundingkan kembali. Tan lantas
memberi Alimin dokumen
yang berisi alasan penolakan terhadap rencana pemberontakan. Alimin pun
berangkat menuju Singapura untuk merundingkan kembali rencana Prambanan
dengan para tokoh PKI seperti Musso, Boedisoetjitro, Sugono, Subakat, Sanusi dan Winata. Alimin meyakinkan
Tan Malaka, bahwa ia sanggup mengumpulkan tokoh PKI lainnya untuk kembali
merundingkan rencana itu. Jika sudah siap, Alimin berjanji akan memberi kabar
kepada Tan Malaka.
Namun, setelah satu bulan pergi, tak juga ada kabar dari Alimin kepada Tan
Malaka. Setelah diselidiki, ternyata Alimin tak pernah menyerahkan dokumen
tersebut kepada para tokoh PKI di Singapura. Alimin malah pergi ke Moskow
bersama Musso meminta restu untuk menjalankan pemberontakan. Meski Moskow tak
merestui, pemberontakan PKI pada 1926-1927 tetap dilaksanakan.
Selain itu, hingga akhir 1926, para pemberontak di Minangkabau telah
mengumpulkan sedikitnya seribu pucuk senjata untuk amunisi melalui Mr. Van Eck,
direktur firma Boon di Medan. Melalui jalur gelap, senjata juga dibeli dari direktur
toko senjata Bouman yang seorang Belanda totok melalui lobi-lobi Mangkudun
Sati. Di kemudian hari, Bouman ditahan enam bulan penjara karena ketahuan
menjual senjata ilegal. Uang untuk membeli senjata, antara lain disumbang oleh
Hasan Bandaro, pedagang kaya raya di Kota Padang.
Selain membeli, urang awak juga merakit senjata dan membuat granat tangan
di Sungai Puar, di bawah tanggung jawab Haji Idris
dan Sutan Maradjo.
Pada 1 Januari 1927, rombongan pertama yang dipimpin Abdul Muluk Nasution bergerak dari
Silungkang ke Sawahlunto. Namun, mereka langsung disergap serdadu Belanda
di Muara Kalaban dan dibawa ke penjara Sawahlunto.
Penjara Sawahlunto yang rencana akan diambil alih gagal, karena ternyata Sersan
Pontoh, Sersan Rumuat dan dua puluhan koleganya telah ditangkap Belanda dua
hari sebelum hari H.
Perang tetap meletus. Rakyat dan buruh tambang batubara di Sawahlunto
bergerak. Konvoi bala bantuan pasukan Belanda dari Bukittinggi menuju
Sawahlunto mendapat kejutan dari pasukan "Jenderal" Abdul Munap
ketika melintas di Payakumbuh. Merujuk telegram residen Mr. Arends
tertanggal 3 Januari 1927, komandan Belanda
Letnan W.F.H.L. Simons yang berada di mobil paling depan, terbunuh oleh sebutir
peluru menembus jantungnya.
Kelompok pemuda dari nagari-nagari sekitar Silungkang yang
mengibar-ngibarkan bendera merah terlibat baku tembak dengan serdadu Belanda.
Tanggal 3 Januari, pasukan Belanda mundur dari Silungkang. Sesuai prediksi,
pemberontakan meluas. Sama halnya dengan Silungkang dan sekitarnya, di
Padang, Pariaman, Agam para pemberontak
juga membunuh para pejabat Belanda. Di mana-mana terjadi baku-tembak. Korban
berguguran dari kedua belah pihak.
Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan pada Maret 1927, setelah
pemerintah mengirim 12 kompi tentara dari Jawa dibawah pimpinan
Mayor Rhenrev. Empat orang pimpinan PKI Minang, yakni Manggulung, M. Jusuf,
Sampono Kajo, dan Badarudin gelar Said, dihukum gantung bulan Maret 1927 di
penjara Sawahlunto. Sisanya dibuang ke Digul.
Setelah pemberontakan itu, dunia pergerakan di Banten semakin
sulit. Belanda semakin ketat mengawasi warga dan aktivitas sosial serta
politik. Meski telah dikhianati, Tan Malaka tetap menghargai Alimin. Namun,
setelah peristiwa itu Tan Malaka hanya menganggap Alimin sebagai teman untuk
bergembira dan bergaul.
0 comments:
Posting Komentar