Ahmad Khatib Datuk Batuah: Haji Kiri, Istiqamah di Jalur Merah

Sabtu, 23 Mei 2020

Buya Hamka, cendekiawan muslim ternama yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, mengenang Haji Ahmad Khatib alias Datuk Batuah sebagai: “Seorang komunis tulen yang masih memeluk Islam. Di dekatnya, para komunis yang anti-agama harus hormat!”

Ahmad Khatib adalah murid kesayangan ayah Hamka, Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Sebelumnya, di usia 14, ia sudah berhaji sekaligus berguru kepada ulama besar yang kebetulan punya nama serupa dengannya dan sama-sama berasal dari Sumatera Barat, yakni Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Rahimahullah.

Syekh al-Minangkabawi merupakan ulama besar dan kepala sekolah mazab Syafii di Masjidil Haram sekaligus imam di masjid itu. Ia menjadi guru bagi tokoh-tokoh Islam pembaharu yang datang ke tanah suci untuk belajar, termasuk Ahmad Dahlan dan Hasyim Asyari.
Kelak di tanah air, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 dan Hasyim Asyari menggagas Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926. Sementara pada 1923, Ahmad Khatib atau yang nantinya dikenal sebagai Haji Datuk Batuah membentuk Partai Komunis Indonesia (PKI) seksi Padang Panjang.

Jika di Jawa ada Haji Misbach, maka yang dirasa pantas menyandang predikat sebagai haji merah di Sumatera Barat adalah Haji Ahmad Khatib a.k.a. Datuk Batuah. Sama seperti Misbach, Datuk Batuah juga istikamah memperjuangkan rakyat dengan memadukan ajaran Islam dan prinsip-prinsip komunisme.

Ahmad Khatib dilahirkan di Koto Laweh, Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 1895. Ia putra Syekh Gunung Rajo, ulama yang memimpin Tarekat Syattariyah di Minangkabau.


Di kawasan Sumatera, Tarekat Syattariyah berkembang pesat sejak akhir abad ke-17. Ahmad Khatib sempat cukup lama mendalaminya, bahkan sejak kecil, di bawah bimbingan sang ayah.

Namun, lama-kelamaan ia merasa jenuh dan berhasrat mencari pengalaman baru sembari belajar lebih banyak lagi tentang ajaran Islam. Maka, pada 1909 Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.

Menurut Fikrul Hanif Sufyan dalam Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah 1923-1949 (2018), selain jenuh dengan ajaran Syattariyah yang mengajarkan kajian klasik dan hafalan, Ahmad Khatib setidaknya punya dua pertimbangan kuat sebelum memantapkan hati merantau ke Arab (hlm. 33).

Pertama, munculnya kesadaran dalam diri Ahmad Khatib untuk mengkritisi ajaran Islam yang tercampur dengan ajaran mistik dan bersifat taklid. Kedua, restu dari sang ayah yang ternyata mendukung keinginan putranya itu. Syekh Gunung Rajo tidak khawatir jika Ahmad Khatib membawa misi pembaruan Islam setelah pulang nanti.

Usai berguru kepada Syekh al-Minangkabawi di tanah suci selama sekitar 5 tahun, Ahmad Khatib kembali ke Sumatera Barat. Persis seperti yang telah diperkirakan sang ayah, ia memang membawa hal-hal baru. Setiba di Minangkabau, Ahmad Khatib langsung bergabung dengan gerakan Sumatra Thawalib.

Sumatra Thawalib merupakan gerakan yang dimotori ulama dan tokoh-tokoh muslim modern di Minangkabau. Salah seorang guru Sumatra Thawalib yang amat dihormati ialah Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul (terlahir dengan nama Muhammad Rasul) yang tidak lain adalah ayah Buya Hamka.

Seperti diungkap di buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat (1982), dalam waktu singkat, Ahmad Khatib sudah mencuri hati gurunya itu. Ia dinilai sebagai murid yang paling pintar dan dinamis, bahkan diangkat sebagai asisten pengajar oleh Haji Rasul (hlm. 95).
Pemikiran Haji Rasul sebenarnya tidak selaras dengan Ahmad Khatib yang cenderung keras dan radikal. Selain itu, ada beberapa murid Sumatra Thawalib lainnya yang punya kecenderungan serupa, salah satunya adalah Djamaluddin Tamim.

Hamka dalam buku Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982) menyebut ayahnya seringkali berdebat dengan dua muridnya yang paling pintar dan paling radikal itu (hlm. 130).

Namun, Haji Rasul tidak lantas melarang apa yang digandrungi oleh kedua muridnya tersebut, karena di Sumatra Thawalib diperbolehkan mempelajari apapun, termasuk teori-teori radikal macam Marxisme, sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan.

Pada tahun-tahun awal era 1920-an, Haji Rasul menugaskan Ahmad Khatib untuk meninjau sekolah-sekolah milik Sumatra Thawalib, termasuk di Aceh. Di tanah rencong, ia bertemu dengan Natar Zainuddin, aktivis pergerakan yang juga propagandis serikat buruh kereta api (VSTP).

Perjumpaan dengan Natar membuat Ahmad Khatib kian terpikat dengan Marxisme. Ia mengiyakan tawaran Natar yang mengajaknya ke Jawa pada 1922. Kebetulan, di Bandung akan digelar Kongres Sarekat Rakyat (SR), sempalan dari Sarekat Islam (SI) yang menjadi cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di kongres itulah Ahmad Khatib untuk pertamakalinya bertemu dan langsung mengagumi sosok Mohammad Misbach, haji asal Surakarta yang terkenal dengan gagasannya dalam memadukan ajaran Islam dengan prinsip-prinsip komunisme.

Audrey R. Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005) menyebut bahwa Ahmad Khatib, yang saat itu mulai memakai nama Haji Datuk Batuah, sangat terpengaruh oleh pemikiran Misbach (hlm. 33).

Sementara dalam buku Zaman Bergerak (1997), Takashi Shiraishi menyatakan bahwa Ahmad Khatib terkesima ketika Haji Misbach naik ke podium dan berucap lantang di hadapan seluruh peserta kongres. Misbach berseru bahwa Alquran menyatakan setiap muslim berkewajiban menghormati hak-hak manusia, dan hal ini juga terdapat dalam prinsip-prinsip program komunis (hlm. 361).

“[…] adalah perintah Tuhan bahwa (kita) harus berjuang melawan penindasan dan penghisapan. Ini juga merupakan salah satu sasaran komunisme. Sehingga benar jika dikatakan bahwa ia yang tidak dapat menerima prinsip-prinsip komunisme itu bukan muslim sejati!” seru Haji Misbach.
Kata-kata Haji Misbach sangat merasuk ke dalam kalbu Ahmad Khatib. Ia pun mantap bergabung dengan Sarekat Rakyat atau yang sebenarnya sudah berganti rupa menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH).

Maka, sepulangnya ke Sumatera Barat pada 1923, Ahmad Khatib langsung menggagas PKH seksi Padang Panjang bersama Natar Zainuddin, Djamaluddin Tamim, dan Datuk Machudum Sati. Tahun 1924, PKH resmi memakai nama baru: Partai Komunis Indonesia (PKI).

Selain membentuk PKH di tanah kelahirannya, Ahmad Khatib juga kembali ke Sumatra Thawalib untuk menyebarkan ajaran yang diperoleh dari Haji Misbach. Salah satu caranya adalah dengan menerbitkan surat kabar Pemandangan Islam bersama Djamaluddin Tamim.

Harry J. Benda & Ruth T. McVey dalam The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia (2009) menyebut, koran itu berhasil mempertemukan “ilmu tentang pengaturan masyarakat demi mencapai kemaslahatan rakyat yang hidup dalam nestapa kemiskinan” dengan “tujuan-tujuan dan kewajiban-kewajiban dalam keyakinan Islam yang hakiki” (hlm. 103).

Ahmad Khatib meluncurkan pula jurnal bertajuk Djago-Djago, yang dikelolanya dengan Natar Zainuddin. Untuk menyebarluaskan komunisme di Minangkabau, Ahmad Khatib juga mempelopori International Debating Club.
Pergerakan komunisme yang semakin nyata membuat guru-guru Sumatra Thawalib mulai was-was, termasuk Haji Rasul. Aturan keras pun diberlakukan. Diungkapkan M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007), para pelajar yang menjadi pengikut Ahmad Khatib terpaksa dikeluarkan (hlm. 277).

Keberadaan International Debating Club yang digawangi Ahmad Khatib dan kawan-kawan dituding oleh aparat kolonial Hindia Belanda sebagai ajang propaganda serta kaderisasi komunisme dengan tujuan menentang pemerintah. Forum itu pun digerebek pada 11 November 1923 dan dibubarkan paksa.

Ahmad Khatib, Natar Zainuddin, Djamaluddin Tamin, dan para aktivis Islam-komunis lainnya, juga anggota keredaksian Djago-Djago ditangkap. Mereka lantas diasingkan ke Timor (NTT). Tahun 1926-1927, pemerintah Hindia Belanda benar-benar memberangus orang-orang komunis di Sumatera Barat.

Di tempat pengasingan, Ahmad Khatib tetap konsisten dengan keyakinannya. Ia membentuk Partai Serikat Timor. Namun, partai ini disikat habis oleh aparat kolonial pada 1926. Tak lama berselang, Ahmad Khatib dikirim ke Boven Digul, Papua.

Saat Belanda kalah dari Jepang yang mulai menduduki wilayah Indonesia pada 1942, Ahmad Khatib dipindahkan ke New South Wales, Australia (dikutip dari artikel “Kisah Haji Merah dari Sumatera Barat”, berdikarionline.com, 6 April 2013).
Ahmad Khatib pulang setelah Indonesia merdeka dan sempat menetap di Solo. Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (2005) mencatumkan nama Datuk Batuah sebagai salah satu wakil komunis di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Bersama D.N. Aidit, Alimin, dan sejumlah tokoh kiri lainnya, Ahmad Khatib masuk KNIP mewakili Solo (hlm. 115).

Pada 1948, Ahmad Khatib balik kampung. Di sepanjang sisa hidupnya, Haji Datuk Batuah tetap istikamah melakoni jalur merah yang dipilihnya. Ia terus mengajarkan dan menebar propaganda komunisme hingga meninggal dunia pada 1949 di tanah kelahirannya.

0 comments:

Posting Komentar