Tokoh Komunis dari Ranah Minangkabau

Sabtu, 23 Mei 2020

Dari kiri ke kanan:Arif Fadhillah, Natar Zainuddin, Dt. Batuah, A. Wahab

Tanggal 23 Mei kemaren merupakan peringatan 100 tahun lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai yang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia sejak kegagalan kudeta/pemberontakan yang dilakukan pada tahun 1965. Faktanya ideologi komunis itu tidak mati. Mereka mulai berani terang-terangan tampil di media.

Kota Padang Panjang yang berjuluk Kota Serambi Mekkah ternyata mempunyai andil besar bagi perkembangan ideologi komunis di Sumatera Barat. Nah, pada tulisan kali ini saya kembali me-repost beberapa tulisan berkaitan dengan komunis di Sumatera Barat dan kegagalan pemberontakannya pada tahun 1927. Agar kita tetap waspada terhadap bahaya laten komunis.

Sejumlah tokoh aliran komunis pernah lahir dan besar di Sumatera Barat. Menurut dosen dan peneliti dari Universitas Leiden, Suryadi Sunuri salah satu tokoh komunis yakni Dt. Batuah adalah pembawa paham komunisme ke dalam kampung Sumatera Thawalib, Padang Panjang.


Menurut Suryadi, foto yang dijadikan sampul di atas adalah empat orang tokoh Partai Komunis Indonesia (penjelmaan dari Sarikat Ra’jat) dari Padang Panjang. Foto ini diperkirakan diabadikan pada tahun 1920-1927. Namun komunis saat itu bersinergi dengan ajaran Islam untuk mengusir penjajah dari bumi Minangkabau.

Adapun keempat tokoh dalam foto tersebut adalah dari kiri ke kanan, adalah: Arif Fadillah (baju putih), Natar Zainuddin, Ahmad Khatib Dt. Batuah (tanda x) dan A.Wahab (baju putih). jika diprediksi dari wajah, dua orang yang berada di tengah kemungkinan besar lebih senior dari dua yang di pinggir. Tapi yang paling senior dari keempatnya adalah Dt. Batuah.

Untuk diketahui, Dt. Batuah merupakan tokoh PKI kelahiran Koto Laweh, pada tahun 1895 dan wafat pada tahun 1949 di tempat yang sama. Menurut Suryadi, Dt. Batuah adalah pendiri dan mejadi ketua PKI Cabang Padang Panjang pada Maret 1923. Dalam membentuk dan mengelola partai tersebut, dirinya dibantu oleh Djamaluddin Tamin sebagai sekretaris merangkap bendahara dan Natar Zainuddin dan Dt Mangkudum Sati ditetapakan menjadi anggota kehormatan partai yang didirikannya tersebut.

Sedangkan Natar Zainuddin merupakan pria kelahiran Padang tahun 1890 dan meninggalnya juga di Padang 24 Mei 1950. Sementara itu, tidak diketahui tanggal dan tempat kelahiran Arif Fadillah dan A. Wahab

PKI di Padang Panjang mendapat penolakan dan ditentang oleh sejumlah pihak, termasuk Belanda. Penolakan tersebut disebabkan banyak hal, salah satunya adalah persoalan ideologi. Sedangkan Belanda waktu itu sangat khawatir dengan perkembangan PKI yang berkembang melalui gerakan Sjarikat Ra’jat (syarikat Rakyat).

Djamaluddin Tamin dalam ‘Sedjarah PKI’ (stensilan, 1957:14) menulis:
Mulai sadja terdengar disebut2 gerakan pemuda Thawalib/Student Islam di Padang Pandjang, sudah mempunjai Depot Merah/Cooperasi Thawalib Merah, adanja I.D.C./International Debanting Club, dan Sarekat Rakjat jang sudah meliputi seluruh Minangkabau/Sumatera Barat, maka Abdul Muis pun segera meninggalkan Djakarta/Djawa, dan sering2lah pula [ia] ke Padang Pandjang.

Abdul Musi (sic) jang merasa dirinja masih mendapat kepertjajaan Rakjat Minangkabau, ditjobanjalah djuga mengadakan Rapat2 Umum, dan sebagai pertjobaan jang pertama kali, diadakannjalah di Padang Pandjang pada bulan September 1923.

Rapat Umum Musi (sic) ini, dikubrukan, dikatjaukan oleh satu dua orang PKI-ers sadja, jang dengan terang2an Abdul Muis ditelandjangi bulat2 dalam rapat Umum Muis tsb, walaupun usaha mengadakan Rapat Umum ini disokong oleh Alim Ulama Besar di Minangkabau, seperti Hadji Abdul[lah] Achmad, Padang dan Hadji Abdul Karim Amarullah alias Hadji Rasul di Padang Pandjang, dan djiga (sic) mendapat sokongan beberapa ninik mamak/datuk2, penghulu2 jang memang sudah djinak2 kepada Belanda.

Sesudahnja Rapa Umum Muis ini bubar/gagal, maka langsunglah Abdul Muis mengadakan pertemuan rahasia di Padang Pandjang jang juga diikuti oleh Hadji Rassul/Haji Abdul Karim Amarullah ajah kandungnja Pudjangga Islam, Hadji Abdul Malik Karim Amarullah/HAMKA.

Pada tanggal 11 November 1923 Dt. Batuah dan Natar Zainuddin ditangkap oleh Belanda. Djamaluddin Tamin menduga penangkapan dua tokoh PKI itu merupakan ketidaksukaan pihak lain terhadap eksistensi PKI di Padang Panjang saat itu. Pihak yang tidak suka terhadap Belanda mengadukan bahwa Dt Batuah dan kelompoknya seakan-akan ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda.

Tamin (ibid.) menulis:
“Bertepatan benar hari Minggu tgl 11 Nopember 1923, negeri Kota Lawas-Pandai Sikat, diserbu oleh soldadu Belanda dengan bajonet terhunus, dan ditangkapilah Hadji Dt Batua[h] bersama tudjuh orang murid2nja H Dt Batuah di desa Koto Lawas”.

Selanjutnya, ia menulis:
Pada hari Senin 12 Nopember 1923, saja sudah menegaskan dalam lembaran madjalah Pembangunan Islam, dan Djago-djago, jang kami terbitkan di Padang Pandjang sekali dua hari, ijalah artikel saja jang berkepala: TUDUHAN DAN FITNAH, ITU![1] jang diantara isinja artikel saja tsb saja seolah2 sudah menegaskan/bukan membajangkan lagi, bahwa alasannja tindakan militer terhadap H Dt. Batuah dkk, pastilah berdasarkan laporan2 palsu jang sudah disusun oleh Hadji Rasul, Sjech [Djamil] Djambek, H. Abdullah Ahmad bersama2 Abdul Muis, jang isinja laporan itu, ialah: H Dt. Batuah dengan kawan2nja di kota kawasan Pandai Sikat akan mengadakan pemberontakan….katanja!!

Setelah ditangkap oleh Belanda, Dt. Batuah dan Natar kemudian dipindahkan ke Sunda Kecil (sekarang: Nusa Tenggara Timur/NTT) pada Desember 1924. Sebelum dipindahkan mereka dalam penahanan dan pengawalan ketat pemerintah Belanda di penjara di Padang.

Di Nusa Tenggara Timur, Dt. Batuah diasingkan ke daerah ke Kalabahi di Pulau Alor. Sedangkan Natar Zainuddin diasingkan ke Kafamenanu di Pulau Timor. Setelah itu, Belanda pun memindahkan mereka ke Digul pada tahun 1927. Pada tahun 1942, mereka
juga bahkan pernah dipindahkan ke Australia saat Jepang ke Hindia Belanda.
Mereka baru bisa menghidup udara bebas lagi tahun 1945. Dt. Batuah sempat ke Jawa sebelum kembali ke Sumatera Barat tahun 1948. Natar Zainuddin juga kembali ke Sumatera Barat.

Dua tokoh berbaju putih dalam foto ini Arif Fadillah dan A. Wahab adalah penerus perjuangan Dt. Batuah dan Natar Zainuddin. Keduanya juga alumni Sumatera Thawalib. Arif Fadillah mengetuai PKI cabang Padang Panjang setelah dua seniornya yang lain yang menjadi pengurus partai itu.

Djamaluddin Tamin dan Mahmud pergi ke Singapura menemui Tan Malaka. Arif sudah aktif di Padang Panjang sejak 1923 dan banyak menulis artikel pedas dalam Djago! Djago!. Ia pernah dipenjarakan Belanda selama 6 bulan tahun 1924. Menurut Benda (op cit.:170) posisi Arif pada waktu itu adalah ‘Sectional Executive’ menggantikan Ketua Umum PKI Sumatra’s Westkust, Sutan Said Ali.

Pada tahun itu (1926) Arif pergi ke Jawa beberapa bulan untuk ‘kunjungan studi’. Arif aktif mengorganisir rencana pemberontakan di lapangan, dan juga menyelundupkan senjata. Ia tertangkap Belanda dalam pelariannya pada 29 Desember 1926 dan dibawa ke Sawahlunto.

A.Wahab tercatat sebagai staf PKI seksi Padang, dengan jabatan sekretaris dan bendahara, menyusul keputusan konferensi partai itu di Padang Panjang pada bulan Mei 1925. Ia adalah salah seorang penerima uang sebanyak 300 gulden yang berasal dari dana rahasia Uni Sovyet. Arif dibuang ke Digul (Tamin 1957:88), sementara nasib A. Wahab dan puluhan simpatisan PKI lainnya, setelah pemberontakan Komunis Silungkang yang keburu bocor itu berhasil dipadamkan Belanda dengan mudah.


0 comments:

Posting Komentar